Like

Like
Tenang&damai

Assalamu Alaikum Wr.Wb

Selamat datang...


Tabe...

Silahkan masuk,,,

semoga tidak mengecewakan..

Jumat, 17 Februari 2012

Ungkapkan Dengan Bunga

Kategori: gede prama
Negeri auto pilot, demikian kesimpulan sahabat yang merasa pemerintah seolah-olah tiada. Terutama di tengah derasnya ancaman akan pluralitas,  aparat sepertinya tidak berbuat apa-apa. Negeri para makelar, itu kesimpulan sahabat lain yang melihat pemerintah hanya adem ayem dengan kemampuan sekolah menengah kejuruan menghasilkan mobil sendiri. Cerita akan lain sekali - masih menurut para kritikus - bila pabrikan mobil luar negeri datang ke aparat minta proteksi, plus tentu ongkos komisi buat makelar.

Inilah salah satu wajah demokrasi. Di mana pemerintah selalu dalam posisi bersalah. Namun melihat perkembangan kerut wajah sejumlah pemimpin negeri ini, terlihat jelas pihak pemerintah juga bekerja keras. Salah satu bagian wajah pemimpin yang bisa mewakili kerja keras dan kelelahan adalah cekungan di bawah mata. Dan ini bukan tidak ada hasilnya, inverstor luar mulai menyebut negeri ini sebagai wanita cantik. Buktinya, investment grade yang lenyap sejak 1997 sudah kembali dalam pangkuan di tahun 2011.

Pertanyaan awam sehabis ini, mana yang benar, negeri ini bopeng sebagaimana komentar kritikus, atau wanita cantik sebagaimana kesimpulan investor?. “In the deeper level, truth is relational“, demikian pesan tetua bijaksana dari Timur. Dalam tingkatan yang lebih dalam, kebenaran sifatnya relasional. Amat tergantung pada siapa yang mempersepsikan, dengan siapa seseorang berinteraksi, apa kepentingannya, seberapa jujur seseorang dalam menyuarakan kebenaran.

Melihat sifat kebenaran yang relasional seperti ini, bisa dimaklumi bila ada Guru yang menyarankan agar seseorang sebaiknya lebih cerdas tidak saja di depan berita, bahkan perlu “lebih cerdas” bahkan di depan buku suci sekalipun. Lihat konteks lahirnya, cermati dinamikanya, pandang secara jernih pewarta berita sekaligus buku suci. Menelan mentah-mentah apa yang disajikan, serupa makan makanan yang belum dimasak, tidak saja menimbulkan penyakit, juga membuat diri ini sebagai bagian penyebaran penyakit, bukan bagian dari langkah-langkah kesembuhan dan pertumbuhan.

Ini yang bisa menjelaskan kenapa banyak pencinta kejernihan menjaga jarak terhadap kerumunan orang kebanyakan. Ini juga sebabnya kenapa kerumunan orang kebanyakan tidak semakin tersembuhkan di tengah kerumunan, sebaliknya tambah sakit dari hari ke hari. Coba perhatikan angka bunuh diri yang terus meningkat, rumah sakit jiwa sesak. Di tingkatan interpersonal konflik, perang, permusuhan seperti tidak mengenal henti. Di tingkatan kosmik, di akhir tahun 2011 terjadi gempa dengan kekuatan 9 skala Richter di Jepang (terbesar dalam 1.200 tahun terakhir) yang diikuti oleh tewasnya belasan ribu orang dan hilangnya ribuan manusia yang lain.

Pada tataran ini, rumusnya tidak saja kejadian memproduksi kebenaran, “kebenaran” ikut memproduksi kejadian. Bila dalam geografi berlaku rumus bentuk wilayah menentukan bentuk peta, dalam kekacauan kosmik saat ini rumusnys terbalik yakni peta (baca: cara memandang) menentukan bentuk wilayah (realita). Terutama karena kepala manusia berisi banyak kekacauan, kemudian keputusan-keputusannya ikut menciptakan kekacauan kemudian.

Mungkin karena merenung dalam-dalam di atas tumpukan bahan renungan seperti inilah, kemudian tetua di Timur menjauh dari perdebatan - apa lagi penghakiman anarkis, kemudian duduk meditasi bersahabatkan keheningan. Di awal perjalanan, keheningan diambil alih oleh kekacauan. Makanya banyak orang mudah marah dan protes. Di pertengahan perjalanan, mulai ada ruang antara kejadian  di satu pihak,  serta sikap keseharian di lain pihak. Kadang sikapnya masih dibawa pergi emosi, kadang bisa
merasakan keheningan.

Mahluk tercerahkan malah lebih mengagumkan lagi,   mulai bisa “istirahat” dalam ruang-ruang keheningan. Kejadian, berita, opini serupa awan. Yang menyenangkan mirip awan putih, yang menjengkelkan serupa awan hitam. Tapi baik yang putih dan hitam sama-sama tidak kekal, tunduk pada hukum muncul dan lenyap. Penderitaan terjadi karena manusia menggenggam awan putih, atau menendang awan hitam.
Perjalanan menuju kesembuhan lebih mungkin terjadi, saat seseorang belajar menyaksikan muncul lenyapnya awan-awan, kemudian “istirahat” dalam kejernihan langit biru. Dan kapan saja awan menghilang, langit senantiasa berhiaskan cahaya yang mengusir kegelapan (baca: kekacauan kosmik).

Ada memang yang menuduh keadaan istirahat terakhir dengan apatis, tapi siapa saja yang lama istirahat dalam langit biru tahu, sebagaimana air yang tidak bisa dipisahkan dengan basah, keheningan sebagai buah meditasi tidak bisa dipisahkan dengan kasih sayang. Itu sebabnya salah satu simbol pencerahan yang ada di alam adalah pepohonan. Kelihatannya pohon diam dan pasif, tapi dalam diamnya ia mengolah karbondioksida menjadi oksigen yang amat dibutuhkan semua mahluk. Pemimpin-pemimpin seperti inilah yang dibutuhkan alam dalam kekinian. Mulutnya memang mengeluarkan teramat sedikit suara, tapi tindakannya menyuarakan kasih sayang. Ini yang di Barat disebut dengan say it with flower. Ungkapkanlah dengan bunga (baca: kasih sayang).

Bila di Bali yang bergelimang dolar pariwisata setiap hari, kejadian-kejadian mengenaskan seperti infeksi hiv/aids, bunuh diri, konflik teramat menyentuh hati, tidak terbayang apa yang terjadi di Indonesia Timur yang belum tersentuh pembangunan. Jika di Jawa dan Sumatra saja infrastruktur jalan demikian menyedihkan sehingga gerak pelayanan ke rakyat terganggu, tidak terbayang apa yang terjadi di tempat-tempat di mana sungai masih tidak berisi jembatan. Kalau di Jakarta saja bahaya narkoba tidak sepenuhnya tertanganani, apa yang terjadi di pelosok-pelosok yang jauh dari pusat pemerintahan? Hal-hal seperti inilah yang sebaiknya menjadi bahan renungan semua pihak (baik pemerintah maupun kritikus), endapkan sambil menarik nafas sebentar, kemudian dengarkan bisikan keheningan: “ungkapkan dengan bunga”.

Sumber : detik.com

Tidak ada komentar: